Kamis, 09 November 2017

SAYA TIDAK PERNAH RAGU

SAYA TIDAK PERNAH RAGU
saya tidak pernah ragu terhadap kemampuan atau daya lenting masyarakat Indonesia untuk bangkit kembali dari keterpurukan ekonomi. Apa pasal? karena kita pernah bangkit dari keterpurukan ekonomi pada tahun 1997-1998, dimana negara Indonesia berada dalam titik terendah. Banyak analisa yang mengatakan bahwa keterpurukan ekonomi kita pada saat itu disebabkan oleh stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini baru disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius, dimana antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (kata World Bank, 1998).
Para kreditur asing sangat bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.

Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri.
Pada saat terjadinya krisis ekonomi tersebut, masyarakat masih bisa memenuhi kebutuhan bahan pangan dasarnya (basic needs) karena banyak mengandalkan sumberdaya alam, terutama pertanian. Mungkin yang banyak bangkrut adalah kegiatan yang banyak bergerak di pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khususnya bagi Indonesia dan Thailand, sektor perumahan (real estate) yang paling banyak memanfaatkan biaya pinjaman. 
Bagaimana dengan masyarakat petani? survive.....karena mereka tidak butuh belanja yang besar seperti yang saya katakan tadi, mereka hanya butuh makan. Beruntungnya masyarakat Indonesia memiliki tanah yang subur, sumberdaya alam yang banyak serta kawasan hutan yang luas. hal tersebut yang menjadi andalan untuk memperkuat daya lenting kebangkitan ekonomi Indonesia di tingkat akar rumput.
Kesuksesan ini tentunya diperlukan komitmen yang tinggi agar sumberdaya alam kita tetap tidak mengalami keguncangan, yaitu daya lenting sumberdaya alam tersebut paling tidak seimbang dng peruntukannya.

Sebagai gambaran, pada saat terjadi "rush" kebutuhan beras di perkotaan karena akan ada isu reformasi, maka hanya masyarakat perkotaan saja yang mengalami kepanikan terhadap stock beras. Sedangkan masyarakat pedesaan memiliki fleksibilitas yang tinggi untuk memenuhi basic needs nya, dan banyak melakukan subsitusi terhadap beras kepada hasil pertanian lainnya misalnya ubi, singkong, sagu serta bahan karbo lainnya.


sebagai gambaran, masyarakat Papua dan Maluku sangat mencintai Sagu sebagai makanan pokok. Dilihat dari konten sagu maka sama dengan beras. Dari hasil pengalaman di lapangan Sagu tersebut memiliki keistimewaan yaitu Gluten Free, makanan bebas gluten atau sebagai bahan dasar makanan yan bebas gluten, sangat cocok bagi penderita penyakit celeac atau magh yang sudah parah. Sagu memang bisa dijadikan subsitusi beras, hanya tidak semua masyarakat Indonesia familier dengan sagu.

Kebutuhan terhadap sagu sangat tinggi di Papua, jadi manakala sagu digantikan beras semuanya, maka betapa banyak kebutuhan pemerintah terhadap beras, sehingga berapa banyak stock yang diperlukan untuk kebutuhan makan rakyat Indonesia. untuk itulah maka diversitas pangan  sangat diperlukan.



Bogor, 2017





1 komentar:

bunga kamboja jepang