Musim gugur bersamamu adalah salah satu yang aku kenang,
kita selalu "mojok" di tower cafe kampus, pasti segelas kopi yang menjadi tujuan kita,
kita hangatkan tangan2 kita pada cangkir panas untuk menahan angin musim gugur.
kita hanya beralasan untuk ngopi bersama, dan kita selalu saling menatap, tersenyum dan diskusi.Kita lewati musim gugur dengan keriangan dan dari tower itu kita melihat dedaunan berubah warna.
kamu yang ambil jurusan ekonomi, pernah mampir di kelasku hanya untuk belajar makro ekonomi. kemudian saat istirahat kita selalu berargumentasi tentang pelajaran tadi sambil melangkah menuju mensa.
masa2 itu adalah masa-masa tangan kita masih halus, saat kulit tangan bersentuhan getar2 asa itu ada dan aliran itu memanaskan pipi kita, memerah dan kemudian kita tertawa.
Hans, saat ini tangan kita mulai berkerut, tapi sentuhan itu tetap hangat, dan selalu kamu ucapkan "biarkan kita semakin menua, daun-daun akan berguguran tapi kopi kita harus selalu tetap hangat". Kau yang mentertawakan tanganku yang kecil dan coklat, serta rambutku yang hitam, membuatmu selalu rindu untuk melihatku. Hans, seorang Denish yang cakep dan selalu gagah di mataku, engkau pertama kali kukenal saat kita ke lapangan bersama. Aku yang di fakultas kehutanan, dan kamu yang ambil ekonomi ikut pelajaran itu. aku memang selalu cerewet bila ke lapangan dan itu membuatmu mendekat dan banyak bertanya. aku sadar bahwa kamu bukan temen sekelasku, tapi kamu kelas lain yang ikut nimbrung bersamaku. saat itulah kita terus diskusi samapi kelas berakhirpun diskusi. Mungkin karena kepribadiamu yang baik yang membuatku betah ngobrol bersamamu.
Hans, saat ini kamu menatapku, binar-binar cinta masih melekat dalam sorot matamu, walaupun keriput disekitar matamu tampak, tapi aku merasakan bahwa kamu masih seperti yang aku kenal dulu, saat kuliah. Hans, perjalanan hidup kita saat berjuang untuk bersatu tidaklah mudah. Bagaimana aku menangis saat kewarganegaraan menjadi masalah dalam hidup kita, aku harus memperjuangkan antara cintaku padamu dan aku harus meninggalkan kebiasaanku di kampung. Kamu hanya mengatakan bahwa aku akan kuat melalui semuanya. Cintamu, senyummu, bau mu dan semangatmu untuk bersatu membuatku untuk selalu rindu berada di dekatmu. Tekad kita untuk bersatu di negaramu menjadi lebih kuat saat kau mengatakan bahwa kita akan selalu bersama sampai akhir hayat kita.
Hans, perjalanan panjang biduk kita memang selalu damai, sebab kamu selalu bisa mendamaikan saat aku sudah rindu pada kampungku. Engkau memberiku waktu luang untuk menjenguk sanak saudaraku. Pernah satu kali engkau menyusulku, karena aku terlalu lama berada dalam pelukan kampungku, dan sangat lucu bahwa kamu serasa mati separuh. Haaannss, kamu membuatku merasa sangat penting dalam hidupmu......akupun dengan suka cita memelukmu..aku juga kangen.
Hans, saat ini kita makin menua, biarkan dedaunan mengering asal kopi kita tetap hangat. Aku masih dan tetap mencintaimu.
Untuk Suamiku tercinta Hans Madhansen
seorang Denish yang selalu mencintaiku pada usia perkawinan kami ke 34.